The Buddha’s View On Meat Eating
Bhikkhu Dhammavuddho Mahathera
© 2011
Pendahuluan
Makan daging merupakan topik yang sangat sensitif. Ada beragam  pandangan tentang makan daging dan setiap pandangan mungkin benar pada  batas tertentu, tetapi pandangan-pandangan tersebut mungkin saja tidak  bijaksana. Dalam hal ini, kita harus mengesampingkan pandangan pribadi  kita dan bersikap lebih terbuka untuk melihat pandangan Sang Buddha. Hal  ini penting sekali karena Beliau adalah Tathagata yang mengetahui dan  melihat.
Sutta dan Vinaya akan menjadi sumber referensi kita karena di AN  4.180, Sang Buddha berkata bahwa jika bhikkhu tertentu mengatakan  sesuatu, yang diklaim sebagai sabda Sang Buddha, maka perkataan tersebut  haruslah dibandingkan dengan Sutta (kumpulan khotbah) dan Vinaya  (disiplin kebhikkhuan). Jika perkataan tersebut sesuai dengan Sutta dan  Vinaya, maka kita dapat menerimanya sebagai sabda Sang Buddha. 
Pertimbangan selanjutnya adalah Sutta dan Vinaya mana yang  menjadi acuan kita? Walaupun berbagai mazhab Buddhis mempunyai  penafsiran yang berbeda tentang ajaran Sang Buddha, umumnya semua setuju  bahwa empat Nikaya (Kumpulan-kumpulan), yaitu, Digha Nikaya, Majjhima  Nikaya, Samyutta Nikaya, dan Anguttara Nikaya, dan beberapa buku dari  Khuddhaka Nikaya, adalah khotbah-khotbah tertua otentik Sang Buddha.  Lebih lanjut, buku-buku kumpulan tertua ini konsisten secara  keseluruhannya, mengandung rasa pembebasan, sementara buku-buku  belakangan terkadang berisikan ajaran yang kontradiktif. 
Buku-buku Vinaya dari berbagai mazhab Buddhis semuanya cukup  serupa dengan Vinaya Theravada. Untuk alasan ini, Sutta-sutta kumpulan  tertua dan Vinaya Theravada akan menjadi sumber referensi kita. 
Referensi Sutta
Majjhima Nikaya 55 
Khotbah ini penting sekali karena disini Sang Buddha menyatakan dengan jelas pendapat Beliau tentang makan daging.
Tabib Raja, Jivaka Komarabhacca, datang mengunjungi Sang Buddha.  Setelah memberi penghormatan, dia berkata: “Yang Mulia, saya telah  mendengar hal ini: ‘Mereka menyembelih makhluk hidup untuk Samana Gotama  (yaitu Sang Buddha); Samana Gotama dengan sadar memakan daging yang  dipersiapkan kepadanya dari binatang yang dibunuh untuk dirinya’...”;  dan bertanya apakah hal ini memang benar.
Sang Buddha menyangkali hal ini, menambahkan “Jivaka, saya  nyatakan bahwa dalam tiga hal daging tidak diijinkankan untuk dimakan:  apabila dilihat, didengar atau dicurigai (bahwa makhluk hidup tersebut  telah secara khusus disembelih untuk dirinya) ... Saya nyatakan bahwa  dalam tiga hal daging diijinkan untuk dimakan: ketika tidak dilihat,  didengar, atau dicurigai (bahwa makhluk hidup tersebut telah secara  khusus disembelih untuk dirinya) ....”
Lebih lanjut, Sang Buddha menambahkan: “Jika seseorang  menyembelih suatu makhluk hidup untuk Tathagata (yaitu Sang Buddha) atau  para siswanya, dia menimbun banyak kamma buruk dalam lima hal ...
(i)     Ketika dia berkata: ‘Pergi dan giring makhluk hidup itu’ ...
(ii)   Ketika  makhluk hidup itu menderita kesakitan dan kesedihan ketika dijerat  dengan lehernya yang
terikat.....
terikat.....
(iii)  Ketika dia berkata: ‘Pergi dan  sembelihlah makhluk hidup itu’ ...
(iv) Ketika makhluk hidup itu  mengalami kesakitan dan kesedihan karena disembelih ...
(v) Ketika dia  mempersembahkan kepada Tathagata atau para siswanya dengan makanan yang  tidak 
diijinkan .... ”
diijinkan .... ”
Jadi kita dapat menyimpulkan bahwa Sang Buddha membedakan antara daging yang diijinkan[1] dengan tiga kondisi dan daging yang tidak diijinkan. Ini adalah kriteria yang paling penting sehubungan dengan makan daging.
Anguttara Nikaya 8.12 
Jendral Siha, seorang pengikut Nigantha, beralih ke ajaran Buddha setelah dia belajar Dhamma dari Sang Buddha. 
Dia mengundang Sang Buddha dan rombongan bhikkhu ke rumahnya hari  berikutnya untuk bersantap, dan menyediakan daging dan makanan lainnya.  Para Nigantha, yang cemburu karena seorang umat awam yang terkemuka dan  berpengaruh telah pergi ke perkemahan Buddha, menyebarkan rumor bahwa  Jendral Siha telah membunuh seekor binatang besar dan memasaknya untuk  samana Gotama, “... dan samana Gotama akan memakan daging tersebut,  mengetahui bahwa daging itu memang dimaksudkan untuk dirinya, perbuatan  itu dilakukan untuk kepentingannya.’
Ketika berita ini sampai ke telinga Jendral, dia menolak tuduhan  mereka, berkata: “ ... Sudah lama tuan–tuan yang terhormat ini  (Nigantha) sudah berniat untuk meremehkan Buddha ... Dhamma ... Sangha:  tetapi mereka tidak dapat mengganggu Yang Terberkahi dengan fitnahan  kejam, kosong, bohong, yang tak benar. Tidaklah demi menopang hidup,  kita dengan sengaja merampas hidup makhluk manapun. 
Ini adalah salah satu khotbah yang dengan jelas menunjukkan bahwa  Sang Buddha dan bhikkhunya makan daging. Juga, kita lihat bahwa daging  dari binatang yang sudah mati ketika dibeli, diijinkan untuk dimakan,  tetapi tidak diijinkan apabila binatangnya masih hidup.
Anguttara Nikaya 5.44 
Ini tentang seorang umat awam, Ugga, yang mempersembahkan  beberapa pilihan makanan yang baik untuk Sang Buddha: di antaranya  adalah daging babi yang dimasak dengan buah jujube yang diterima oleh  Sang Buddha. Sekali lagi, ini jelas bahwa Sang Buddha dan para siswanya  makan daging.
Sutta Nipata 2.2 
Disini Sang Buddha mengingat kembali suatu peristiwa pada  kehidupannya yang lampau pada masa Buddha Kassapa. Buddha Kassapa adalah  gurunya saat itu. 
Pada suatu ketika saat seorang petapa sekte luar bertemu dengan  Buddha Kassapa dan mencacinya karena makan daging, yang dikatakannya  sebagai noda dibandingkan dengan konsumsi makanan vegetarian. 
Buddha Kassapa membalas: 
“Membunuh ... melukai .... mencuri, berbohong, menipu ... berzinah; inilah noda. Bukan makan daging. 
... Mereka yang kasar, sombong, memfitnah, curang, jahat ... kedekut ... inilah noda. Bukan makan daging. 
... Kemarahan, keangkuhan, sifat keras kepala, kebencian, penipuan, keirihatian, pembualan ... inilah noda. Bukan makan daging. 
... Mereka yang bermoral buruk, .... dengki ... congkak ...  menjadi orang yang paling keji, melakukan perbuatan demikian, inilah  noda. Bukan makan daging.” 
Referensi Vinaya
Patimokkha: Pacittiya 39 
Dalam disiplin kebhikkhuan, seorang bhikkhu tidak diijinkan untuk  meminta makanan khusus tertentu. Tetapi, sebuah pengecualian diijinkan  di Patimokkha (peraturan kebhikkhuan) ketika bhikkhu itu sakit. Dalam  keadaan ini, bhikkhu diijinkan untuk meminta produk dari susu, minyak  makan, madu, gula, ikan, daging ... Dengan jelas, ikan dan daging  diijinkan untuk para bhikkhu.
Buku Kedisiplinan: Buku Keempat[2] 
Dalam Mahavagga, sepuluh jenis daging dilarang bagi para bhikkhu: 
1.manusia, 
2.gajah, 
3.kuda, 
4.anjing, 
5.hyena (dubuk/anjing liar), 
6.ular, 
7.beruang, 
8.singa, 
9.harimau, dan 
10.macan tutul (harimau bintang).  
Kita dapat menyimpulkan dari sini bahwa daging dari  binatang lain diijinkan, dengan terpenuhinya  
tiga kondisi untuk ‘daging  yang diijinkan’, misalnya daging babi, daging sapi, ayam, dan lain  sebagainya.
Buku Kedisiplinan : Buku Keempat[3] 
Sup daging yang jernih diijinkan bagi bhikhhu yang sakit.
Buku Kedisiplinan : Buku Pertama[4] 
Beberapa bhikkhu menuruni lereng dari Puncak Burung Nasar. Mereka  melihat sisa hewan yang mati terbunuh oleh singa, menyuruh umat  memasaknya dan memakannya. Di lain waktu, bhikkhu yang lain melihat sisa  hewan yang mati terbunuh oleh harimau ... sisa hewan yang mati terbunuh  oleh macan tutul ... dan lain sebagainya ... menyuruh umat memasaknya  dan memakannya. Kemudian para bhikkhu ragu apakah itu sudah termasuk mencuri. Sang  Buddha memberikan pengecualian kepada mereka dengan mengatakan tidak ada  pelanggaran dalam mengambil apa yang menjadi milik binatang. Sekali  lagi, di sini kita melihat bahwa para bhikkhu makan daging dan Sang  Buddha tidak mengkritik atau melarang hal itu.
Buku Kedisiplinan : Buku Kedua[5] 
Ini adalah kejadian ketika Arahat bhikkhuni Uppalavanna  ditawarkan sebagian daging matang. Keesokan paginya, setelah  mempersiapkan(masak) daging di biara wanita, dia pergi ketempat dimana Sang  Buddha sedang tinggal untuk mempersembahkan kepadanya. Seorang bhikkhu,  mewakili Sang Buddha, menerima persembahan itu dan mengatakan bahwa  Uppalavanna telah menyenangkan Sang Buddha. 
Jelaslah bahwa Sang Buddha memakan daging; apabila tidak, Arahat bhikkhuni Uppalavanna tidak akan mempersembahkannya.
Buku Kedisiplinan : Buku Kelima[6] 
1.Bhikkhu Devadatta merencanakan untuk memecah-belah komunitas para  bhikkhu dengan meminta Sang Buddha untuk menetapkan lima aturan, salah  satunya adalah para bhikkhu tidak diijinkan makan ikan dan daging. 
2.Sang Buddha menolak, dengan berkata : “Ikan dan daging sepenuhnya  murni berdasarkan tiga hal: jika tidak dilihat, didengar atau dicurigai  (telah dibunuh secara khusus untuk seseorang).” 
3.Sang Buddha bersabda bahwa seorang bhikkhu harus mudah disokong.  Jika seorang bhikkhu menolak untuk memakan jenis makanan tertentu (baik  daging maupun sayuran) maka dia tidak mudah disokong. 
Berbagai Alasan Sang Buddha Mengijinkan Makan Daging
Tidak Ada Kamma Langsung dari Pembunuhan
Sang Buddha berkata: “Ikan dan daging sepenuhnya murni (parisuddha) ….”[7] artinya tidak ada kamma langsung[8]  (perbuatan yang tidak disertai kehendak) dari pembunuhan jika binatang itu  tidak dilihat, didengar atau dicurigai telah dibunuh secara khusus untuk  seseorang.
Tanpa tiga kondisi ini, ada unsur kamma tak baik dan, oleh karenanya, daging jenis itu tidak diijinkan. 
Walaupun Sang Buddha mengijinkan makan daging, Beliau berkata di  AN 4.261 bahwa kita menciptakan kamma tak baik jika kita secara  langsung mendorong terjadinya pembunuhan, menyetujui dan berbicara  dengan bangga akan hal itu. Karena itu di AN 5.177 Sang Buddha berkata  bahwa seorang umat awam tidak boleh berdagang daging, yang dijelaskan di  kitab komentar sebagai pengembangbiakan dan menjual babi, ternak, ayam  dan lain sebagainya untuk disembelih. Demikian pula, tidak diijinkan  untuk memesan, misalnya sepuluh ekor ayam untuk keesokan harinya jika  sejumlah binatang tersebut dimaksudkan disembelih untuk seseorang. 
Vegetarian Tidak Cocok dengan Cara Hidup Para Bhikkhu Buddhis
Seorang bhikkhu seyogianya pergi meminta sedekah (pindapata - mengemis) untuk  makanannya kecuali dia
(i) diundang untuk bersantap,
(ii) makanan itu  dibawa ke Vihara, atau
(iii) makanan itu dimasak di Vihara. 
Dia tidak  diijinkan untuk memasak makanan, menyimpan makanan untuk keesokan  harinya, atau melibatkan diri dalam kegiatan bercocok tanam untuk  menyokong dirinya sendiri. Dengan begitu, mengemis(pindapata) adalah salah satu  dari dasar /landasan dari cara hidup para bhikkhu Buddhis. 
Hal ini dapat dilihat di suatu negara Buddhis (misalnya Thailand)  dimana seorang bhikkhu mempunyai kebebasan dan dukungan untuk  sepenuhnya berlatih sesuai dengan ajaran Sang Buddha. Di sana kita  melihat bukan hanya para bhikkhu tradisi kehutanan yang pergi meminta  sedekah tetapi juga para bhikkhu dari kota kecil dan besar mengemis(pindapata)  makanan setiap hari. Karena seorang pengemis tidak pantas memilih-milih, seperti yang sudah  disebutkan sebelumnya, vegetarianisme tidak cocok dengan cara hidup para  bhikkhu Buddhis - - yang mungkin merupakan alasan lain mengapa Sang  Buddha menolak permintaan Devadatta seperti yang disebutkan sebelumnya. 
Argumentasi Permintaan dan Penyediaan
Beberapa orang beragumen bahwa walaupun dengan tiga kondisi yang  disebutkan sebelumnya, seseorang pantas dicela karena makan daging  menyebabkan adanya permintaan yang harus diimbangi dengan penyediaan  dengan pembunuhan binatang. Dengan kata lain, makan daging dalam keadaan  apapun mendorong pembunuhan binatang. 
Kita harus paham bahwa ada dua jenis sebab dan akibat :
(i) sebab  dan akibat duniawi, di mana kehendak tidak dilibatkan, dan
(ii)  kamma-vipaka Buddhis, atau tindakan yang disertai kehendak/kesengajaan  dan akibatnya.
Makan daging yang diijinkan dengan tiga kondisi  melibatkan hanya sebab dan akibat duniawi, dan tidak ada kamma dari  membunuh. Makan daging yang tidak diijinkan melibatkan kamma tak bajik  dan, karenanya, juga vipakanya. Oleh karena itu, makan daging harus  dibagi dengan jelas menjadi dua bagian.
Argumentasi permintaan dan penyediaan tidaklah berlaku. Di bumi ini, sejumlah besar manusia[9]  dan binatang-binatang yang tidak terhitung jumlahnya terbunuh oleh  kendaraan bermotor setiap hari. Hanya dengan mengendarai kendaraan atau  bahkan duduk di atasnya, kita mendorong industri motor untuk membuat  lebih banyak kendaraan bermotor. Jika kita menggunakan argumentasi  permintaan dan penyediaan, maka hanya dengan menggunakan kendaraan  bermotor kita mendukung pembunuhan binatang-binatang yang tak terhitung  jumlahnya dan sejumlah besar manusia di jalanan setiap hari - - yang  lebih buruk daripada makan daging!
Memang benar bahwa kita secara tidak langsung terlibat dalam  pembunuhan binatang-binatang tetapi, seperti yang dijelaskan sebelumnya,  tidak ada kamma-vipaka dari membunuh. Keterlibatan tidak langsung dalam  pembunuhan adalah benar, jika kita makan daging maupun tidak, dan  merupakan sesuatu yang tidak terelakkan. Kita akan mendiskusikannya  dibawah. 
Vegetarianisme juga Mendorong Pembunuhan.
Kita mendorong pembunuhan walau sekalipun kita berpola makan  vegetarian. Setiap hari monyet, tupai, rubah, kumbang, dan hama perusak  lainnya dibunuh karena mereka makan dari pohon buah yang ditanam petani.  Petani sayuran juga membunuh ulat bulu, keong, cacing, belalang, semut,  dan serangga lainnya, dll.. Seperti di Australia contohnya, kangguru  dan kelinci dibunuh setiap hari karena mereka memakan hasil panen. 
Banyak barang yang umumnya dimanfaatkan setiap orang dengan  mengorbankan nyawa berbagai makhluk hidup. Sebagai contoh, sutera dibuat  dengan pengorbanan ulat sutera yang tidak terhitung jumlahnya, dan  lapisan lak putih[10] dari serangga lak yang tidak terhitung jumlahnya.
Kosmetik mengandung sejumlah besar unsur pokok hewani. Banyak zat  tambahan makanan, seperti: pewarna, penyedap, pemanis, juga menggunakan  unsur pokok hewani. Produk keju menggunakan dadih susu yang diekstrak  dari perut anak sapi untuk mengentalkan susu.
Produk kulit dan bulu tentunya terbuat dari kulit binatang yang  dibunuh untuk tujuan ini. Film fotografis menggunakan gelatin yang  diperoleh dengan mendidihkan kulit, urat daging dan tulang dari  binatang. 
Bahkan pupuk untuk sayur-sayuran dan pohon buah sering  menggunakan tulang ikan kering yang digiling, dan sisa potongan ikan  lainnya. Penggunaan susu sapi dan madu juga melibatkan banyak kekejaman  terhadap binatang dan serangga terkait.
Semua ini menunjukkan bahwa sungguh sulit untuk tidak terlibat  dalam satu cara atau yang lain dalam kekejaman yang terjadi pada  binatang-binatang. 
Jadi seandainya seseorang menjadi vegetarian, seseorang hendaknya  merenungi hal di atas dan menghindari kritik yang berlebihan terhadap  mereka yang makan daging. 
Binatang Tetaplah Dibunuh Walaupun Semua Manusia Menjadi Vegetarian.
Walaupun semua manusia menjadi vegetarian, binatang masih saja akan  dibunuh. Ini karena binatang berkembang biak sangat cepat daripada  manusia sehingga mereka dengan mudah menjadi ancaman bagi kelangsungan  hidup manusia.
Sebagai contoh beberapa tahun yang lalu, dibeberapa daerah  Afrika, gajah adalah binatang yang dilindungi. Akan tetapi, sekarang  mereka telah berkembang-biak dengan cepat dan menjadi ancaman, dan hukum  perlindungan harus dilonggarkan untuk mengurangi jumlah mereka.
Di beberapa negara, anjing yang tidak terdaftar dibunuh agar  tidak menjadi rabies dan menyerang manusia. Bahkan kelompok perlindungan  terhadap kekejaman binatang membunuh jutaan anjing dan kucing dalam  kandang setiap tahun karena akomodasi yang tidak memadai. – di Amerika  Serikat, setiap tahunnya 14 juta dibinasakan dalam waktu seminggu  setelah diselamatkan oleh kelompok kemanusiaan.
Pada akhirnya, pendapat bahwa vegetarianisme mencegah pembunuhan  binatang adalah tidak benar. Meskipun demikian, adalah terpuji untuk  berlatih vegetarianisme atas belas kasih, tetapi tidak sampai menjadi  ekstrim akan hal itu. 
Setiap Orang secara Tidak Langsung Terlibat dalam Pembunuhan Binatang
Apakah kita vegetarian atau sebaliknya, kita semua secara tidak langsung terlibat dalam pembunuhan binatang. Area hutan yang luas harus digunduli untuk perumahan karena kita  ingin tinggal di dalam rumah. Ini mengakibatkan kematian sejumlah besar  binatang. Karena kita ingin menggunakan peralatan rumah tangga dan  peralatan serba canggih lainnya, lagi, area hutan yang luas digunduli  untuk lokasi-lokasi pabrik dan industri. Karena kita ingin menggunakan  listrik, sungai-sungai dibendung untuk pemanfaatan listrik tenaga air.  Ini mengakibatkan banjir di area hutan yang luas dengan mengorbankan  hidup binatang. 
Karena kita mengendarai kendaraan bermotor, binatang yang tak  terhitung jumlahnya dan sejumlah besar manusia terbunuh di jalanan  setiap harinya.
Lagi, demi keselamatan kita, anjing liar dibunuh agar tidak  menjadi rabies. Dalam produksi berbagai produk yang kita gunakan setiap  hari, seperti: makanan, obat-obatan, sutera, kosmetik, film, dan lain  sebagainya., unsur pokok hewani digunakan dengan mengorbankan hidup  binatang.
Jika kita menggunakan argumentasi permintaan dan penyediaan  seperti yang dijelaskan sebelumnya maka kita tidak seharusnya tinggal  dalam rumah, atau menggunakan barang-barang rumah tangga yang diproduksi  pabrik, atau menggunakan tenaga listrik, atau mengendarai mobil,  dsbnya. 
Perumpamaan Pembunuhan Berseri
Andaikan ada kasus pembunuhan berseri di suatu kota, dengan adanya  sejumlah wanita yang telah diperkosa kemudian dibunuh sehingga tidak ada  wanita yang berani mengambil resiko keluar malam. Seisi kota gempar dan  penduduk menuntut agar pihak berwenang menjalankan tugas mereka dan  menangkap pembunuhnya. Jadi polisi, setelah beberapa bulan berusaha  keras, akhirnya menangkap dalangnya. Setelah pemeriksaan panjang, hakim  menjatuhkan hukuman mati pada dirinya. Pada hari yang ditentukan,  pembunuh dibawa ke ruang eksekusi dimana petugas eksekusi menarik  pengungkil untuk menghabisi nyawa si pembunuh. 
Cerita ini menimbulkan pertanyaan: “Siapa yang terlibat dalam  kamma buruk dari pembunuhan manusia (yakni si pembunuh berseri)?”  Menurut hukum kamma-vipaka, petugas eksekusi melakukan pelanggaran yang  paling berat karena dia secara sengaja melakukan pembunuhan. Berikutnya  adalah hakim yang mengumumkan hukuman mati. Kedua orang ini secara  langsung terlibat dalam kamma pembunuhan atas eksekusi dari pembunuh  berseri. Polisi hanya terlibat secara tidak langsung dan tidak  bertanggung jawab atas eksekusinya. Bagaimana dengan penduduk? Pada  dasarnya pembunuh berseri dieksekusi untuk melindungi penduduk, yakni  dieksekusi atas kebaikan penduduk, atau dengan kata lain, penduduk  adalah orang-orang yang diuntungkan atas eksekusi tersebut. Jadi apakah  penduduk bertanggung jawab atas keterlibatan kamma pembunuhan? Tidak,  karena mereka tidak meminta eksekusi atas pembunuh berseri. Tetapi  mereka turut terlibat apabila mereka meminta si pembunuh untuk  dieksekusi.
Skenario di atas serupa dengan penyembelihan binatang untuk  makanan. Orang yang menyembelih binatang tersebut menanggung kamma  pembunuhan yang paling berat. Orang yang membiakkan binatang untuk  disembelih juga terlibat dalam kamma pembunuhan. Mereka serupa dengan  hakim yang menjatuhkan hukuman pada orang tersebut untuk dieksekusi.  Tetapi orang yang membeli daging dari binatang yang sudah disembelih  tidak terlibat dalam kamma pembunuhan walaupun, serupa dengan penduduk  kota diatas, mereka adalah orang-orang yang diuntungkan. Akan tetapi  jika seseorang memesan daging dari binatang yang hidup untuk disembelih,  maka ada keterlibatan dalam pembunuhan. 
’Chi Zhai’, bukan ’Chi Su’
Banyak umat Buddhis Tionghoa beranggapan salah bahwa Buddhisme  Mahayana mengajari praktik vegetarian, dan bingung akan ’Chi Su’  (Vegetarianisme) dengan ’Chi Zai’ (tidak makan setelah petang hari  sampai keesokan subuh). Dalam Sutta kumpulan tertua, ’Chi Su’ disebutkan  sebagai praktek petapa sekte luar yang tidak bermanfaat. ’Chi Su’  dijalankan oleh Han Chuan (Buddhisme Tionghoa), bukan Bei Chuan  (Buddhisme Mahayana), karena Buddhisme di Tibet dan di Jepang bukan  vegetarian. Kaisar Liang Wu Di memerintahkan bhikshu dan bhikshuni  Buddhis untuk berpola makan vegetarian.
Kata ’Zhai’ berarti tidak makan pada jam-jam tertentu, yakni  berpuasa. Itu sebabnya bulan puasa umat Muslim disebut ’Kai Zhai’. Sang  Buddha mengajari muridnya untuk ’Chi Zai’, yakni tidak makan (dengan  pengecualian obat-obatan) setelah petang sampai keesokan subuh (jam 1  siang sampai 7 pagi di Malaysia). Di Han Chuan, makna dari ’Chi Zhai’  ini menjadi sinonim dengan ’Chi Su’. 
Kesimpulan
Sang Buddha tidak mendorong kita untuk makan daging atau menjadi  vegetarian. Pilihan ini sepenuhnya tergantung kepada kita. Pokok  pentingnya adalah memperhatikan dengan baik petunjuk dari Sang Buddha  dalam MN 55 atas tiga kondisi untuk daging yang tidak diijinkan dan yang  diijinkan. 
Seorang Bhikkhu tidak diijinkan untuk memasak dan harus  sepenuhnya tergantung pada persembahan dari para penyokong (umat awam).  Bhikkhu juga diharuskan agar mudah disokong dan dirawat. Karena bhikkhu  tidak diijinkan untuk meminta makanan tertentu (kecuali selama ia  sakit), maka bhikkhu tidak dapat memilih makanannya. Dia harus menerima  apapun yang dipersembahkan.
Umat awam mempunyai lebih banyak kebebasan untuk memilih makanan  mereka, dan untuk umat awam adalah sepenuhnya tergantung pada pilihan  pribadi masing-masing untuk makan daging atau menjadi vegetarian. Untuk  alasan-alasan yang sudah dijelaskan sebelumnya, adalah penting untuk  tidak terlalu kritis terhadap orang lain terkait dengan apapun yang  menjadi pilihan kita.
Cara yang paling efektif untuk mengurangi pembunuhan dan  kekejaman di dunia adalah pemahaman akan ajaran Sang Buddha. Pada  akhirnya, penderitaan (dukkha) adalah karateristik dari kehidupan, dan  cara untuk mengakhiri penderitaan adalah dengan melatih Jalan Mulia  Berunsur Delapan ajaran Sang Buddha untuk keluar dari lingkaran  kelahiran kembali. 
Catatan Kaki
- ↑ Dengan pengecualian dari sepuluh jenis daging yang dilarang untuk para bhikkhu: manusia, gajah, kuda, anjing, hyena, ular, beruang, singa, harimau, dan macan tutul. Rujuklah pada Mahavagga, Book of the Discipline: Buku 4, halaman 298 s.d. 300. The Book of Discipline adalah terjemahan berbahasa Inggris dari kitab Vinaya (dalam Bahasa Pali) oleh Pali Text Society, Inggris.
- ↑ Halaman 298 s.d. 300
- ↑ Halaman 281
- ↑ Halaman 98
- ↑ Halaman 36 s.d. 38
- ↑ Halaman 276 s.d. 277
- ↑ Buku Kedisiplinan: Buku 5, halaman 276 s.d. 277
- ↑ Baca “Only We Can Help Ourselves” oleh pengarang tentang penjelasan dari kamma. [Telah diterjemahkan ke dalam Bahasa Indonesia dan dipublikasikan oleh DPD Patria Sumut]
- ↑ Dua ribu setiap hari menurut laporan surat kabar.
- ↑ Lak digunakan untuk memproduksi banyak produk, termasuk makanan.
 
 
No comments:
Post a Comment