Saturday, July 02, 2011

SADDHA VS DOGMA

Saddha Vs Dogma

Diposting oleh artikel pada Spiritful Drizzle, tags: , , ,
URL pendek:
http://dhct.ws/a469
Saddha Vs Dogma
Willy Yanto Wijaya
Beberapa waktu yang lalu, kita sempat dihebohkan oleh rumor “ring in red”, yaitu nomor panggilan handphone yang berwarna merah. SMS-SMS berantai pun dengan cepat menyebar ke seluruh penjuru Nusantara, ada yang mengatakan bahwa nomor merah itu adalah praktek guna-guna/ ilmu hitam yang dapat membunuh orang dalam sekejap; atau versi lain SMS adalah bahwa nomor merah itu adalah transfer radiasi kuat yang dapat membahayakan kesehatan/ membunuh orang (mungkin versi ini dibikin supaya terkesan lebih masuk akal dan ilmiah – untuk mempengaruhi orang-orang yang lebih berpendidikan).

Entah siapa orang pertama yang mengirim SMS tersebut. Tapi, dari fenomena ini kita dapat melihat bagaimana pola pikir sebagian besar penduduk Indonesia yang takhyul (suka mempercayai hal-hal yang aneh/ belum tentu benar) dan mudah termakan rumor/isu/gosip. Ketika menerima SMS berantai tersebut, penulis sempat berkelakar bahwa akan ajaib sekali jika penulis bisa menerima “ring in red” tersebut, sebab layar handphone penulis adalah hitam-putih. Bagaimana mungkin bisa tiba-tiba layar handphone memendarkan warna merah? Itu adalah pelanggaran terhadap hukum fisika!

Bagi penulis, versi bahwa “ring in red” adalah praktek guna-guna/ilmu hitam kuranglah dapat diterima, karena tidak logis/ ilmiah. Kalaupun memang “ilmu hitam”, menurut Buddhisme tidaklah perlu ditakutkan apabila kita melatih sila, dan apalagi samadhi yang benar. Untuk versi bahwa “ring in red” adalah radiasi kuat yang dapat membunuh dalam sekejap, memang sepintas terdengar masuk akal. Namun teknologi radiasi dan transfer energi saat ini belum sejauh itu. Bahkan sepengetahuan penulis, teknologi transfer energi (contoh: men-charge handphone secara wireless (nirkabel)) saja pun masih baru dalam tahap riset (penelitian). Memang, radiasi handphone sebenarnya tidak baik untuk kesehatan, namun efek membunuh jangka pendek seperti itu (untuk saat ini) tidaklah realistis.

“Ring in Red” hanyalah salah satu hoax (kepalsuan) diantara banyaknya hoax yang beredar (terutama di internet). Kadang batas antara kebenaran dan kepalsuan memang sangat tipis. Istilahnya, kalau suatu kebohongan/kepalsuan terus diulang sampai 1000 kali, mungkin ia akan menjadi “kebenaran”.

Lalu, bagaimana kita bisa membedakan antara kepalsuan dengan kebenaran? Apakah kita boleh memiliki keyakinan terhadap suatu hal (terhadap sesuatu yang kita anggap “benar”)? Dalam ajaran Buddha, keyakinan (saddha) mestilah dilandaskan pada Ehipassiko (come and see – datang dan lihatlah (buktikan)). “See” disini selain berarti “melihat”, juga bermakna “mengerti”, “memahami” (dengan cara membuktikan). Ajaran Buddha tidak pernah mendorong kita untuk menerima “dogma” (suatu hal atau “kebenaran” yang mutlak harus diterima, tanpa boleh dipertanyakan/dilakukan pembuktian). Oleh sebab itu, ketika kita disodorkan pada suatu informasi/“kebenaran”, kita mesti mengujinya terlebih dulu.

Lalu bagaimana kita menguji suatu “kebenaran”? Dengan kata lain, bagaimana kita membedakan antara yang benar dengan yang tidak-benar? Menurut hemat penulis, ada dua aspek yang mesti selalu dijadikan pertimbangan ketika kita menguji suatu hal atau “kebenaran”. Aspek pertama adalah Aspek Pengetahuan. Aspek Pengetahuan yaitu landasan kita untuk menalar suatu “kebenaran” berdasarkan logika, akal sehat, dan sains. Penalaran ini dapat mencakup pembelajaran/ observasi kita terhadap lingkungan di sekeliling kita, pembelajaran kita terhadap pengalaman-pengalaman yang pernah kita alami. Dengan menggunakan Aspek Pengetahuan ini saja, kita bakal mampu mem-filter (menyaring) hampir sebagian besar kepalsuan-kepalsuan yang ada, termasuk rumor “ring in red” yang sempat beredar di masyarakat. Memang, untuk memiliki akal sehat, logika, dan cara pikir ilmiah (berdasarkan sains), tentu dibutuhkan pembelajaran. Walaupun tidak mudah, namun buah dari pembelajaran ini adalah manis.

Apa aspek yang kedua? Menurut penulis, aspek kedua adalah Aspek Kebajikan. Aspek Kebajikan yaitu landasan kita untuk menyelami suatu hal/ “kebenaran” berdasarkan apakah ia membawa kebaikan bagi diri sendiri maupun bagi orang lain, juga makhluk lainnya. Kebaikan disini maksudnya adalah apakah jika suatu hal/“kebenaran” tersebut kita terima, yakini, dan laksanakan; akan membawakan kebahagiaan kepada kita dan yang lainnya? Ataukah justru ia membawakan ketidak-bahagiaan dan penderitaan? Inilah aspek kedua kita untuk menguji suatu “kebenaran”, yaitu Aspek Kebajikan. (Aspek ini selaras dengan ajaran Buddha di dalam Kalama Sutta).

Dengan begitu, “kebenaran” yang kita yakini, saddha kita, akan memiliki landasan “samma-ditthi” (pandangan yang benar), bukan sesuatu keyakinan yang dogmatis.

Lalu, bagaimana jika kita masih belum bisa yakin terhadap sesuatu hal walaupun sepertinya sesuatu hal tersebut telah memenuhi kedua aspek di atas? Just let it be! Dalam bahasa Jepang disebut “Sono mama shite kudasai”, biarkanlah apa adanya. Just keep it, simpan saja. Kita tidak perlu memutuskan apakah untuk mempercayainya atau tidak pada saat itu. Cukup kita simpan untuk sementara, tanpa memberinya label “benar” atau “salah”. Mungkin seiring waktu, seiring perkembangan kita, suatu saat kita akan dapat men-sense-nya, merasakannya secara langsung, dan melihat kebenaran maupun ketidak-benaran yang terkandung di dalamnya sebagaimana adanya.

Sama seperti ibarat seseorang menunjukkan kepalan tangannya dan bertanya apakah kita mempercayai/meyakini bahwa ada mutiara di dalam kepalan tangan tersebut? Kita menjadi ragu, kita terombang-ambing antara percaya atau tidak percaya, antara yakin atau tidak yakin. Mengapa? Karena kita tidak tahu, tidak tahu apakah ada mutiara di dalam kepalan tangannya. Karena tidak tahu, maka kita menjadi dilematis antara percaya atau tidak percaya, antara yakin atau tidak yakin. Namun, seketika ia membuka kepalan tangannya, dan kita melihat kenyataan yang ada apa adanya, segenap masalah percaya atau tidak percaya, yakin atau tidak yakin, yang tadi menghantui kita, seketika menjadi sirna.

Artikel ini pernah dimuat di Warta Karuna Mukti (WKM)
Edisi Asadha 2008.

BERBUAT JASA - THAM BUN

Pelimpahan Jasa Pada Saat Perayaan

Diposting oleh artikel pada Wenny, tags:
URL pendek:
http://dhct.ws/a664
Pelimpahan Jasa Pada Saat Perayaan
Wenny
 
Pelimpahan jasa bertujuan untuk melimpahkan jasa perbuatan baik kita kepada sanak saudara kita, orang tua atau kepada mahkluk yang telah meninggal, baik yang kita kenal dikehidupan ini maupun di kehidupan kita sebelumnya. Pelimpahan Jasa tidak berarti jasa kebaikan yang kita perbuat itu diberikan kepada mahkluk yang telah meninggal melainkan kita limpahkan kepada meraka karena Jasa yang kita limpahkan tidak akan berkurang atau habis. Ibarat membagi api dari lilin yang menyala ke lilin yang masih belum menyala. Api tidak akan habis dan cahaya yang ditimbulkan tidak akan makin redup, tetapi makin bersinar karena makin banyak lilin yang menyala. Dan kita tidak perlu kuatir pelimpahan jasa kita tidak ada yang menerima, karena kita telah mengalami tumimbal lahir yang tak terhitung banyaknya sehingga pasti ada sanak saudara yang sedang berharap dapat menerima jasa tersebut. Walaupun mungkin kita sendiri sudah tidak ingat lagi siapa mereka adanya. Demikian juga dengan para makhluk yang lebih tinggi dari kita (Baca : Para dewa) apabila hadir pada saat pelimpahan jasa juga dapat turut mengabarkan sehingga pelimpahan jasa yang telah diperbuat dapat diterima oleh lebih banyak makhluk.

Manusia sebagai mahkluk sosial tentu banyak yang biasa kita lakukan dalam bersosialisasi seperti mengadakan acara pesta perkawinan, pesta ulang tahun , pesta makan sebelum hari raya imlek atau malam tahun baru ataupun pesta lainnya dimana banyak sanak famili berkumpul untuk merayakan.

Tetapi saat kita bersenang – senang, bergembira bersama, bersantap makan bersama, sering kali kita lupa pada sanak saudara yang telah meninggal atau di alam penderitaan. Bukankah mereka juga hadir pada saat kita mengadakan perayaan tersebut??

Walau tidak tampak bukan berarti mereka tidak ada. Mereka datang dengan harapan kita bisa membagi jasa kebajikan yang telah kita lakukan kepada mereka karena hanya dengan cara melakukan pelimpahan jasa kita dapat menolong atau bahkan membebaskan mereka dari alam penderitaan. Bagi mereka yang terlahir di alam penderitaan adalah sulit untuk melakukan karma baik atau hampir tidak mungkin. Sehingga sulit sekali untuk membebaskan diri dari alam penderitaan.

Jadi alangkah baiknya kita bisa membacakan parita pelimpahan jasa ditujukan kepada mereka. walaupun tidak hafal paritanya bisa kita lakukan dengan berkehendak sambil membaca bait berikut :
Idam no natinam hotu, sukhita hontu natayo (3x)
semoga timbunan jasa ini melimpah kepada sanak saudara saya/kami.
Semoga sanak saudara berbahagia.(3x)

Lebih baik lagi jika dapat membaca ettavatta secara lengkap.

Melimpahkan jasa sebaiknya menjadi kebiasaan dan kita tidak seharusnya merasa aneh, justru kita bisa menolong mahkluk menderita untuk mendapatkan jasa dari kebajikan kita. Dan pelimpahan jasa ini tidak memakan waktu yang lama. Jadi tidak akan rugi untuk dilakukan malah akan manambah jasa kebajikan.

Seperti pada waktu jaman sang Buddha belum Parinibbana, Raja Bimbisara setelah melakukan dana yang besar bagi sang Buddha dan pada malam harinya Raja Bimbisara mendengar suara jeritan yang sangat menakutkan sehingga ia merasa ketakutan dan tidak dapat tidur, keesokan harinya ia menanyakan hal tersebut kepada sang Buddha dan dijelaskan bahwa jeritan tersebut tak lain adalah sanak saudara raja yang telah meninggal menunggu raja untuk melimpahkan jasa kebajikan tersebut kepada mereka tetapi raja tidak melakukannya. Sehingga raja melakukan dana yang besar lagi kepada sang Buddha dan setelah itu melakukan pelimpahan jasa, setelah itu banyak sanak saudara raja yang terbebas dari alam menderita. Mungkin pada jaman sekarang yang sudah modern kita tidak lagi mendengar jeritan tersebut, tapi apakah kita harus menunggu mendengar suara jeritan tersebut, atau harus menunggu sampai sanak saudara kita menampakkan dirinya baru melakukan pelimpahan jasa?

Mengapa kita perlu melakukan pelimpahan jasa pada saat pesta perayaan?
  1. Banyak manusia yang berkumpul. Setiap manusia banyak atau sedikit pasti pernah melakukan tindakan kebajikan, seperti berdana, membaca atau menyebarkan dhamma dll.
  2. Setiap manusia yang berkumpul pasti mempunyai sanak saudara. Baik dikehidupan ini maupun dikehidupan yang lampau.
  3. Makin banyak yang melimpahkan jasa berarti makin banyak mahkluk yang menerima.
tetapi yang disayangkan saat pesta atau perayaan ini banyak yang larut dalam kegembiraannya sehingga lupa untuk melimpahkan jasa kebajikan kepada sanak saudara yang telah meninggal. Padahal mereka berkumpul di sudut – sudut ruangan, halaman depan dan sekitar kita. Memang pelimpahan jasa sering dilakukan pada saat kebaktian atau pada saat ada perayaan buddhis, atau saat berdana pada anggota Sangha, tetapi ada baiknya jika saat kita berpesta, bergembira dan berkumpul bersama dapat menambahkan kebiasaan melakukan pelimpahan jasa.

Saya menulis artikel ini dari pengalaman pribadi. Saya sering mengambil foto menggunakan kamera digital, hasil foto saya pada saat ada perayaan seperti pesta perkawinan atau acara perayaan berkumpulnya teman dan keluarga selalu timbul noda seperti jamur berbentuk bulat, tetapi kalau mengambil foto pada saat jalan- jalan atau sekedar memotret saja tidak ada noda tersebut. Jadi saya mengambil kesimpulan bahwa itu adalah bentuk dari mahkluk yang berkumpul menanti untuk diberikan pelimpahan jasa. Ini adalah kesimpulan saya.
                                                           
Gambar diatas pada saat pesta perkawinan terdapat banyak bulatan bulatan seperti jamur di udara,
Jadi harapan saya teman-teman se-dhamma bisa mengembangkan kebiasaan pelimpahan jasa ini demi kebahagiaan semua mahkluk.

Artikel ini adalah buah pikir dari penulis pribadi bila ada penulisan yang kurang sesuai atau tidak tepat. Mohon dibenarkan.

Namo buddhaya

SELAMAT HARI JADI - DARI SUDUT BUDDHIS


URL pendek:
http://dhct.ws/a374
Makna “Happy Birthday”
Tjahyono Wijaya

Salah satu dari tiga peringatan besar hari Waisak adalah kelahiran Buddha Gautama sebagai Pangeran Siddharta pada sekitar 2.500 tahun yang lampau. Dengan kata lain, merayakan Waisak adalah cara kita memperingati kelahiran Buddha Gautama. Lalu, bagaimanakah kita sebagai umat Buddhis harus bersikap dalam memperingati hari kelahiran kita sendiri?

Dalam masyarakat negara kita, perayaan hari kelahiran (ultah) bagi anak-anak Sekolah Dasar ke bawah umumnya diadakan di Mc D, Kentucky ataupun di sekolah bersama dengan orang tua dan teman-teman sekelasnya. Tetapi semakin beranjak dewasa, semakin mengecil partisipasi orang tua dalam perayaan ultah para putra-putri mereka. Bahkan mungkin tak sedikit putra-putri remaja ataupun dewasa yang merasa merayakan ultah bersama orang tua sudah tak sesuai dengan perkembangan jaman. Inilah fenomena dalam masyarakat kita yang berpandangan bahwa ultah adalah hari kebahagiaan bagi yang merayakannya, tak ada hubungan sedikitpun dengan orang tua.

Dalam buku “Zuo Ren Yu Zuo Shi” karya Lu Qin, Tiongkok, dikatakan bahwa orang Jepang menyebut ultah sebagai “Hari Penderitaan Ibu”. Di hari ultahnya, anak memberi hormat dan mengundang ibu mereka untuk makan bersama. Lebih dari itu, menurut hasil survey, setiap mahasiswa Jepang mengetahui tanggal kelahiran ayah dan ibu mereka.

Sedang di Tiongkok, sejak jaman dahulu telah mengenal ultah sebagai “Hari Penderitaan Ibu dan Kecemasan Ayah”. Hari kelahiran anak merupakan puncak penderitaan bagi ibu selama menjalani proses kelahiran dan kecemasan bagi ayah yang menunggu kelahiran.

Adakah pandangan serupa dalam Buddhisme? ‘Fo Shuo Fu Mu En Zhong Nan Bao Jing (Sutra Sang Buddha Membabarkan Budi Kebaikan Orang Tua yang Dalam dan Sulit Terbalaskan, di Indonesia diterjemahkan juga sebagai Sutra Bakti Seorang Anak)’ telah menjelaskannya secara gamblang. Dalam Sutra yang diterjemahkan oleh Kumarajiva dari bahasa Sansekerta ke dalam bahasa Mandarin ini, dijelaskan betapa besarnya penderitaan dan kasih sayang orang tua, khususnya ibu, terhadap putera-puterinya. Berikut adalah sedikit kutipan dari Sutra tersebut.
[… Pada bulan pertama kehamilan, hidup janin tidaklah menentu seperti embun yang menempel pada rumput, pagi hari terbentuk, tetapi akan menguap pada tengah hari.
Pada bulan kedua, janin bagaikan susu kental. Pada bulan ketiga, janin bagaikan darah yang mengental. Pada bulan keempat, janin mulai berwujud seperti manusia. Selama bulan kelima dalam kandungan, kelima anggota badan anak (kepala, dua tangan, dua kaki) mulai terbentuk. …
Kelahiran itu akan seperti sayatan seribu pisau atau seperti ribuan pedang tajam menikam jantungnya. …
Selain beratnya penderitaan dalam melahirkan anak macam itu, masih ada 10 budi kebaikan yang diperbuat oleh ibu kepada anaknya:
Pertama, budi kebaikan melindungi dan menjaga anak selama dalam kandungan;
Kedua, budi kebaikan menanggung kesakitan selama proses kelahiran anak;
Ketiga, budi kebaikan melupakan semua kesakitan setelah anak terlahir;
Keempat, budi kebaikan menelan kepahitan bagi diri sendiri dan memberi yang manis bagi anaknya;
Kelima, budi kebaikan menghindarkan anak dari tempat yang basah dan menempatkannya di tempat yang kering;
Keenam, budi kebaikan menyusui, merawat dan mendidik anak;
Ketujuh, budi kebaikan membersihkan yang kotor;
Kedelapan, budi kebaikan memikirkan anak bila bepergian jauh;
Kesembilan, budi kebaikan perhatian yang mendalam;
Kesepuluh, budi kebaikan kasih sayang yang sejati. …
Bila ada seseorang yang dalam masa bala kelaparan mempersembahkan tubuhnya sebagai makanan bagi kedua orang tuanya, meskipun tubuhnya terpotong dan hancur bagaikan menjadi butiran debu dan ini berlangsung selama ratusan ribu kalpa, masih tetap tak dapat membalas budi kebaikan kebaikan orang tua. …]
Sebuah Sutra yang luar biasa. Pelukisan proses kehamilan yang menakjubkan mengingat di masa itu belum dikenal ilmu dan perangkat kedokteran yang canggih. Pun, dari kutipan Sutra di atas dapat diketahui bahwa Buddhisme sangat menekankan akan pentingnya bakti anak terhadap orang tua. Selain Sutra di atas, masih banyak lagi Sutra (Sanskrit) ataupun Sutta (Pali) yang menekankan pentingnya bakti anak terhadap orang tua.
Dalam Sigalovada Suttanta (Pali Kanon, dalam Mandarin disebut sebagai Liu Fang Li Cing) dituliskan sebagai berikut:
[ … Dalam lima cara seorang anak memperlakukan orang tuanya sebagai arah timur:
1. merawat orang tua,
2. membantu menyelesaikan
tugas-tugas di rumah,
3. menjaga martabat keluarga,
4. memelihara warisan,
5. dengan tulus bersembahyang bagi
almarhum orang tua … ]
Demikian pula dapat kita simak kutipan mengenai bakti dari beberapa Sutra berikut:
Sutra Kesabaran – Ren Ru Cing: “Tiada kebajikan yang lebih tinggi daripada berbakti, sedang kejahatan yang tertinggi adalah tidak berbakti.”

Mo Luo Mo Cing: “Permata yang ditumpuk tinggi dari permukaan tanah di bumi hingga mencapai 28 tingkat Alam Dewa, semua itu masih tak sebanding dengan penghormatan dan perawatan terhadap orang tua.”

Mahasannipata Sutra – Ta Ci Cing: “Saat Buddha tak muncul di dunia, perlakuan yang baik terhadap orang tua adalah seperti layaknya menghormati Buddha.”

Ekottarikagama Sutra – Ceng I A Han Cing: “Pahala kebajikan berbakti dan merawat orang tua adalah sederajat dengan pahala kebajikan Bodhisattva calon Buddha.”

Ta Ci Cing: Buddha berkata, “Bukan hanya saat ini saja memuji kebajikan berbakti, melainkan selalu memujinya selama kalpa yang tak terhingga.”

Sin Ti Kuan Cing: “Karena budi kebaikan ayah dan ibu sehingga setiap putera-puteri memperoleh kebahagiaan. Budi kebaikan ayah setinggi gunung, budi kebaikan ibu sedalam lautan.”

Sin Ti Kuan Cing: “Apa yang disebut paling kaya dan paling miskin di dunia ini? Ibu masih hidup, inilah yang disebut kaya, ibu telah meninggal, inilah yang disebut miskin; ibu masih hidup dinamakan tengah hari, ibu meninggal dinamakan matahari terbenam; ibu masih hidup dinamakan seterang rembulan, ibu meninggal dinamakan malam yang gelap. Karena itulah, kalian harus rajin berlatih diri untuk berbakti dan merawat orang tua. Orang yang demikian ini, pahala kebajikan yang diperolehnya tiada berbeda dengan pahala menghormati Buddha.”

Pu Shi Yi Kuang Cing: “Makanan dan permata belum cukup membalas budi kebaikan orang tua. Dapat mengarah-kan mereka menuju Dharma yang benar, itulah balas budi kepada kedua orang tua.”
Selain beberapa kutipan Sutra (Sutta) di atas yang menekankan pentingnya bakti, dalam syair Pelimpahan Jasa (Mahayana) juga terdapat satu kalimat yang menegaskan “membalas empat budi kebaikan besar”. Apakah gerangan empat budi kebaikan besar itu? Tak lain adalah budi orang tua (rumah tangga), makhluk hidup (masyarakat), pemimpin negara (negara), Tri Ratna (ajaran). Di sini terlihat bahwa budi kebaikan orang tua merupakan satu dari empat budi kebaikan besar.

Dari beberapa uraian di atas, dapat kita ketahui bahwa Buddha Dharma sangat menekankan pentingnya bakti, maka itu sudah selayaknya kita sebagai siswa Sang Buddha meletakkan bakti sebagai landasan kehidupan kita. Sebagai anak yang berbakti, kita harus mengerti (Zhi En) dan berterima kasih (Gan En) serta berusaha membalas budi kebaikan orang tua (Bao En). Bagaimanakah bentuk balas budi itu? Sejak kecil kita telah diajarkan banyak mengenai bakti, kali ini kita coba membahasnya dalam sudut pandang yang berbeda yang berkaitan dengan hari kelahiran.

Ingat hari kelahiran orang tua.
Ingatlah hari kelahiran orang tua dan berikan ucapan “Happy Birthday” pada mereka di hari super special itu. Lewati hari spesial itu bersama-sama orang tua. Bila kondisi tak memungkinkan untuk bertemu, setidaknya sampaikan ucapan happy birthday melalui media telepon.

Perenungan di hari ulang tahun kita.
Lewati hari spesial diri kita sendiri bersama dengan orang tua. Renungkan penderitaan ibu sewaktu mengandung dan melahirkan kita, serta kasih sayang dan perjuangan orang tua dalam membesarkan kita. Gunakan pula telepon untuk menyampaikan rasa terima kasih kita pada orang tua bila kondisi tak memungkinkan untuk bersama-sama pada hari itu.

Momen kebahagiaan orang tua.
Selain merupakan hari penderitaan dan kecemasan orang tua, ultah kita juga merupakan “Hari Kebahagiaan” bagi orang tua. Kelahiran kita adalah kebahagiaan orang tua, karena itu, tidakkah kita harus berupaya agar orang tua menjadi semakin berbahagia? Mari kita jadikan ultah sebagai momen yang membahagiakan orang tua.

Berbuat kebajikan.
Ultah orang tua dan kita sendiri seyogianya diisi dengan berbuat kebajikan, seperti: berdana bagi mereka yang membutuhkan, tak menyakiti makhluk lain, menunjang pengembangan Dharma dan kegiatan kebajikan semacamnya.Seperti yang tercantum dalam Dhammapada :
Jangan berbuat jahat
Lakukan kebajikan
Sucikan hati dan pikiran
Inilah ajaran para Buddha
Inilah ajaran yang merupakan dasar dari semua kebahagiaan sejati. Kenapa kita tidak mengisi ultah dengan menanam benih kebahagiaan melaksanakan ajaran mulia para Buddha?
Mendorong, membiasakan serta mengukuhkan orang tua di dalam keyakinan, moralitas, kedermawanan dan kebijaksanaan.
Untuk jelasnya, mari kita simak Anguttara Nikaya (II, iv,2) seperti berikut di bawah ini.
[ ..... Membalas Budi Orang Tua
Kunyatakan, O para bhikkhu, ada dua orang yang tidak pernah dapat dibalas budinya oleh seseorang. Apakah yang dua itu? Ibu dan ayah.
Bahkan seandainya saja seseorang memikul ibunya ke mana-mana di satu bahunya dan memikul ayahnya di bahu yang lain, dan ketika melakukan ini dia hidup seratus tahun, mencapai usia seratus tahun; dan seandainya saja dia melayani ibu dan ayahnya dengan meminyaki mereka, memijit, memandikan, dan menggosok kaki tangan mereka, serta membersihkan kotoran mereka di sana – bahkan perbuatan itupun belum cukup, dia belum dapat membalas budi ibu dan ayahnya. Bahkan seandainya saja dia mengangkat orang tuanya sebagai raja dan penguasa besar di bumi ini, yang sangat kaya dalam tujuh macam harta, dia belum berbuat cukup untuk mereka, dia belum dapat membalas budi mereka. Apakah alasan untuk hal ini? Orang tua berbuat banyak untuk anak mereka: mereka membesarkannya, memberi makan dan membimbingnya melalui dunia ini.
Tetapi, O para bhikkhu, seseorang yang mendorong orang tuanya yang tadinya tidak percaya, membiasakan dan mengukuhkan mereka di dalam keyakinan; yang mendorong orang tuanya yang tadinya tidak bermoral, membiasakan dan mengukuhkan mereka di dalam moralitas; yang mendorong orang tuanya yang tadinya kikir, membiasakan dan mengukuhkan mereka di dalam kedermawanan; yang mendorong orang tuanya yang tadinya bodoh batinnya, membiasakan dan mengukuhkan mereka di dalam kebijaksanaan – orang seperti itu, O para bhikkhu, telah berbuat cukup untuk ibu dan ayahnya: dia telah membalas budi atas apa yang telah mereka lakukan. ]
Pelimpahan jasa
Lima poin di atas merupakan bentuk balas budi yang kita lakukan semasa orang tua masih hidup, bagaimana pula kita harus membalas budi orang tua yang sudah meninggal? Pada peringatan hari ultah almarhum orang tua dan ultah kita, lakukan perenungan akan budi kebaikan yang tak terhingga dari orang tua pada kita, dengan menjaga perbuatan kita agar tidak berbuat jahat, mengembangkan kebajikan, menyucikan pikiran serta melakukan pelimpahan jasa bagi almarhum orang tua tercinta.

Memang benar, bakti adalah suatu hal mulia yang harus diamalkan dan dilaksanakan setiap saat, bukan hanya berlaku khusus pada hari ultah kita saja. Tetapi, tak sedikit dari kita yang acap kali lupa akan hal satu ini. Maka dari itu, ultah adalah satu momen tepat sebagai pengingat bagi kita akan pentingnya pengamalan BAKTI.

Sekarang, tahukah kita akan makna ultah yang sesungguhnya?
Adakah orang-orang di sekitar kita juga memahami makna ultah ini?
Dan, sudahkah kita bertekad untuk memberitahukan makna ultah ini pada setiap orang?
. . . . Terima kasih Mama …
. . . . Terima kasih Papa …

Majalah Sinar Dharma edisi 05 : Waisak 2548 BE / 2004