Sunday, October 13, 2019

Kebebasan

Kebebasan
Y.M. Bhikkhu Sri Paññāvaro Mahathera.

Perasaan yang tidak senang adalah penderitaan. Perasaan yang senang
adalah kebahagiaan. Perasaan senang atau tidak senang itu keduaduanya
berbahaya. Meskipun perasaan senang itu didapat dari berbuat
baik, yang halal, yang dibenarkan oleh agama sekalipun, perasaan
senang itu berbahaya juga, karena perasaan senang hasil dari
perbuatan baik itu juga tidak kekal dan kalau ketidak-kekalan itu
tidak disadari, nanti akan membuat kita kecewa. Kecewa itu
penderitaan yang baru. Buntutnya adalah jengkel, marah.
Kalau sedang merasa tidak senang, disadari atau diperhatikan saja.
Kalau sedang merasa senang, juga disadari atau diawasi saja.
Saya menggunakan istilah berganti-ganti: kesadaran, perhatian,
keawasan, kewaspadaan, pengamatan; karena semuanya
mempunyai arti yang boleh dikatakan sama dalam hal untuk
menjelaskan tentang meditasi.

Kalau sedang tidak senang, tidak usah kebakaran jenggot. Sedang tidak
senang, ya sudah, nanti akan hilang sendiri. Tidak perlu mencari
selingan pergi ke tempat-tempat yang “buruk”, tidak perlu pergi ke tempat
yang remang-remang, minum-minum. Tidak perlu! Sadari saja,
perhatikan saja, awasi saja rasa tidak senang yang sedang muncul itu,
nanti akan hilang sendiri.

Demikian juga kalau sedang senang, sedang gembira, disadari saja,
“Wah sedang senang, sedang bahagia.” Meskipun kesenangan itu tidak
berasal dari kejahatan, melainkan dari kebaikan. Perhatikan saja!
Sewaktu selesai meditasi duduk misalnya, juga timbul perasaan
bahagia, atau puas; itu pun harus disadari atau diamat-amati ju
Kebahagiaan orang meditasi itu juga tidak kekal. Jangan kaget
kalau nanti kebahagiaan itu lalu hilang.

Oleh karena itu, tujuan yang tertinggi kita bukan mencari bahagia.
Memang kita tidak ingin menderita, wajar! Orang tidak ingin menderita,
ingin bahagia. Betul sekali! Tetapi, kebahagiaan itu juga tidak abadi.
Perasaan bahagia itu hanya sepintas saja, sebentar saja. Akhirnya,
akan mengecewakan kita. Maka yang tertinggi bukanlah mencari
kebahagiaan, tetapi mencari kebebasan. Bebas dari perangkap. Tidak
terperangkap oleh kebencian, tidak terperangkap juga oleh
kebahagiaan.

Kebencian itu bagaikan pancing. Kalau kita terpancing bagaimana?
Marah. Kalau menghadapi yang tidak disenangi, akan muncul marah,
jengkel. Kalau sudah jengkel, muncul ucapan dan perbuatan yang
tidak bisa dikendalikan; timbullah kejahatan. Itulah pancingan yang
berasal dari rasa tidak senang. Rasa senang itu sebetulnya adalah
pancingan juga. Yang akan terpancing dari rasa senang itu apa?
Serakah, ingin lagi, ingin lagi, ingin lagi. Kalau bisa tiap orang ingin
senang seperti itu terus. Itulah hasil pancingan rasa senang, akibatnya
keserakahan muncul ke permukaan.

Hasil pancingan atau perangkap dari yang tidak menyenangkan adalah
kemarahan, kejengkelan, kebencian. Hasil pancingan dari yang
menyenangkan adalah keserakahan. Dua-duanya berbahaya. Oleh
karena itu, marilah kita mengasah diri kita dengan menggunakan
kesadaran. Memang susah sekali, sangat susah, tetapi kita harus belajar
dan berlatih. Pendeknya, apa saja yang timbul atau pun mulai timbul
menjadi perasaan dan pemikiran diketahui atau disadari dengan
dilandasi pengertian bahwa ini tidak kekal, ini tidak abadi, ini hanya
sebentar.

Sangat perlu memelihara dan menjaga kesadaran, dari kita bangun pagi
sampai nanti menjelang tidur kembali, meskipun tidak bisa tiap detik.
Sebanyak mungkin kita harus menggunakan kesadaran, perhatian
penuh atau keawasan dalam hidup keseharian kita, untuk menyadari
atau mengawasi apa saja yang muncul pada perasaan dan pikiran kita.
Kalau kita bisa menyadari dengan pengertian ketidak-kekalan, kita akan
terbebas meskipun cuma satu detik. Itu berharga sekali. Suatu saat
saya merasa sedih, tetapi begitu ingat kesadaran, saya menyadarinya,
“Oh, perasaan ini sedang sedih.” Begitu saya menyadari, saya menjadi
orang bebas, merasakan kebebasan meskipun sesaat. Saat saya
merasa jengkel, tidak enak. Buru-buru harus disadari, “Oh, ini perasaan
tidak senang sedang muncul.” Pada saat kita menyadari itu, kita merasa
ringan, enteng, bebas, dan jengkel yang mengakibatkan rasa tidak
senang itu otomatis menurun, menurun, dan akhirnya lenyap. Detik itu
pula terbebas dari kejengkelan, kemarahan, dan kebencian.

Suatu ketika kita makan enak, atau angin sepoi-sepoi menyejukkan,
“Waduh, kalau begini rasanya enak.” Eh, hati-hati! Harus segera
disadari, supaya tidak terikat atau ketagihan dengan suasana romantis
itu, karena suasana yang menyenangkan itu pun, sekali lagi , tidak
kekal! Pada saat kita menyadari itu, kita terbebas dari keserakahan dan
kebencian. Detik itu kita adalah orang yang terbebas. Kalau kita bisa
mempertahankan detik-detik itu terus, itulah yang dikatakan: Kebebasan
Sempurna.

No comments:

Post a Comment